Jumat, 17 Mei 2013

Alur Perayaan Cinta


Teringat pada pada beberapa undangan walimah di atas meja yang mencantumkan ayat Al Quran, surat Ar Ruum ayat 21. “ Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan kalian dari anfus (jiwa-jiwa) kalian sendiri, aswaaj (pasangan hidup), supaya kalian ber-sakinah kepadanya, dan dijadikanNya di antara kalinan mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”
Inilah yang kita miliki, inilah manhaj yang seharusnya kita jadikan alur dalam merayakan cinta. Sedihnya kebanyakan mereka yang mencantumkan dengan tinta emas di atas undangan mewah tidak menghayati maknanya. Secara ringkas, ada beberapa kata kunci pada ayat di atas.
Min anfusikum. Dari jiwa-jiwa kalian. Artinya, hal yang pertama dibicarakan Al Quran tentang pernikahan dua manusia adalah kesejiwaan. Ruh itu kata Nabi, seperti tentara. Jika kode sama, sandinya nyambung, meskipun belum saling melihat mereka pasti bersepakat. Jika tidak, ya tembak dulu. Apa sih kode dan sandi untuk ruh? Komitmen kepada Allah dan agamanya. Itu saja, itulah kesejiwaan.
Aswajan. Pasangan hidup. Tidak berlama-lama, sesudah kesesuaian jiwa, Al Quran segera mengatakan bahwa mereka menjadi suami istri. Berhentilah mencari orang yang tepat, dan jadikan orang disamping anda yang memang hebat itu menjadi orang yang tepat. Ada dua hal di dunia ini menikahi orang yang dicintai atau mencintai orang yang dinikahi. Yang pertama hanyalah kemungkinan. Sedangkan yang kedua adalah kewajiban.
Litaskunuu ilaiha. Supaya kalian tenteram, tenang padanya. Unik sekali, kata hubung yang dipakai adalah huruf lam (li) yang menunjukan otomatis. Kata Allah, kalau pernikahan dimulai dari kesejiwaan, maka otomatis seorang suami akan merasakan ketenteraman pada istrinya. Lho, kok banyak rumah tangga tidak sakinah? Mungkin karena tidak dimulai dengan kesejiwaan. Apa sih sakinah itu? Secara sederhana, sakinah inilah yang menyebabkan pernikahan disebut separuh agama seseorang. Dengannya seorang insan bisa mengoptimalkan potensinya untuk menjadi hamba Allahh dan pengelola nikmat-nikmat Allah. Tenteram karena gejolak syahwat telah menemukan saluran yang halal dan baik, tenang karena ada sahabat lekat yang siap mendukung perjuangan.
Wa ja ala bainakum mawaddatan. Kemudian ada yang harus diproses dan diupayakan yakni mawadah. Ibnu al Qayyim al jauziyah mendefinisikannya sebagai cinta yang erotis-romatis. Bentuknya bisa ekspresi bathin hingga ekspresi zhahir, dari emosional hingga seksual. Inilah Mawaddah.
Wa (ja ala bainakum) rahmatan. Yang harus diusahakan bukan cuma mawaddah tetapi juga rahmah. Ini pun cinta juga. Cinta yang memberi bukan meminta, berkorban bukan menuntut, berinisiatif bukan menunggu, dan bersedia bukan berharap-harap. Erich Fromm menyebutnya cinta keibuan.
Nah, sekilas inilah alur perayaan cinta yang dituntunkan Al Quran. Jika kita mendesain perayaan cinta dengan plot ini, tanpa bermakud lancang pada Allah, maka bisa dijamin bahwa pernikahan bisa menemukan bahagianya merayakan cinta.
Lho, kok banyak pernikahan yang error? Biasanya karena alurnya kacau. Tidak dimulai dengan kesejiwaan tapi justru dimulai dari mawaddah romatis-erotis. Pacaran, TTM, HTS apapun namanya semuanya adalah mawaddah tanpa sakinah apalagi rahmah.
Perhatian, kado, bunga, cokelat, khalwat, bersentuhan, saling pandang itu semua mawaddah. Bahkan sms nasehat, “bertaqwa kepada Allah” misscalled tahajud, buku dan kaset nasyid, itu juga mawaddah. Jadi yang satu bunga dan cokelat valentine sementara yang lain buku dan kaset dakwah. Tetapi sensasi yang dirasakan adalah sama.

Dikutip dari buku "Saksikanlah bahwa Aku Seorang Muslim" karya ust Salim A Fillah. Semoga posting ini jadi jariyah baginya.


»»  READMORE...