Sabtu, 31 Desember 2011

Jenis-Jenis Akad dalam Perbankan Syariah (Tabarru dan Tijari)

بِسۡمِ ٱللهِ ٱلرَّحۡمَـٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Jenis-Jenis Akad dalam Perbankan Syariah

Oleh Drs. H.M. Azhari, M.HI.

PENDAHULUAN
Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
Karena itulah ulama fiqh menetapkan apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT.  Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “ Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu.
Dalam kaitannya dengan praktek  perbankan Syari’ah dan ditinjau dari segi maksud dan tujuan dari akad itu sendiri dapat digolongkan kepada dua jenis yakni Akad Tabarru dan Akad Tijari.
I.    AKAD TABARRU
Akad Tabarru yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong sesama dan murni semata-mata mengharap ridha dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada unsur mencari return, ataupun suatu motif. Yang termasuk katagore akad jenis ini diantaranya adalah Hibah,  Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn  dan Qirad..
Selain itu menurut penyusun Eksiklopedi Islam termasuk juga dalam kategori akad Tabarru seperti Wadi’ah, Hadiah, hal ini karena tiga hal tersebut merupakan bentuk amal perbuatan baik dalam membantu sesama,oleh karena itu dikatakan bahwa akad Tabarru adalah suatu transaksi yang tidak berorientasi komersial atau non profit oriented. Transaksi model ini pada prinsipnya bukan untuk mencari keuntungan komersial akan tetapi lebih menekankan pada semangat tolong menolong dalam kebaikan (ta’awanu alal birri wattaqwa).

Dalam akad ini pihak yang berbuat kabaikan (dalam hal ini pihak bank) tidak mensyaratkan keuntungan apa-apa. Namun demikian pihak bank itu dibolehkan meminta biaya administrasi untuk menutupi (cover the cost) kepada nasabah (counter-part) tetapi tidak boleh mengambil laba dari akad ini.
HIBAH. (Pemberian)
Pengertian Hibah adalah pemilikan terhadap sesuatu pada masa hidup tanpa meminta ganti. Hibah tidak sah kecuali dengan adanya ijab dari orang yang memberikan, tetapi untuk sahnya hibah tersebut menurut Imam Qudamah dari Umar bahwa sahnya hibah itu tidak disyaratkan pernyataan qabul dari si penerima hadiah.
Hal ini berdasarkan hadits bahwa Ibnu Umar berhutang unta kepada Umar, Rasulullah berkata kepada Umar dengan mata beliau. Umar berkata; Unta itu untukmu wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: “Unta itu untukmu wahai Abdullah bin Umar, pergunakanlah sesuka hatimu”. Disini tidak ada pernyataan qabul dari nabi ketika menerima pemberian unta, juga tidak ada pernyataan qabul dari ibnu Umar ketika menerimanya dari Rasulullah.saw.
Pemberian (hibah) itu sah menurut syara’ dengan syarat-syarat antara lain
-         Si pemberi hibah (wahib) sudah bisa dalam mengelola keuangannya.
-         Hibah (barang/harta yang diberikan) harus jelas
-         Kepemilikan terhadap barang hibah itu terjadi apabila pemberian (hibah) tersebut sudah berada ditangan si penerima.(muhab). 

  1. 1. IBRA
Menurut arti kata Ibra sama dengan melepaskan, mengikhlaskan atau menjauhkan diri dari sesuatu.
Menurut istilah Fiqh Ibra adalah pengguguran piutang dan menjadikannya milik orang yang berhutang.
Menurut syari’at Islam Ibra merupakan salah satu bentuk solidaritas dan sikap saling menolong dalam kebajikan yang sangat dianjurkan  syari’at Islam, seperti dikemukakan dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 280 yang artinya :
Dan jika seseorang (yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah ia tangguh sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.
Sehubungan dengan mendefinisikan Ibra terutama dari segi makna “ penggugaran” dan “ pemilikan” para ulama fiqh berbeda pendapat, antara lain sbb :
Ulama Madzhab Hanafi menyatakan bahwa Ibra lebih dapat diartikan pengguguran, meskipun makna pemilikan tetap ada.
Menurut Madzhab Maliki disamping bertujuan menggugurkan piutang, ibra juga dapat menggugurkan hak milik seseorang jika ingin digugurkannya. Ketika hak milik terhadap suatu benda digugurkan oleh pemiliknya, maka statusnya sama dengan hibah.
Menurut Madzhab Syafi’i, sebagian ulama mengatakan bahwa Ibra mengandung pengertian pemilikan utang untuk orang yang berhutang. Sebagian ulama lainnya mengartikan pengguguran, seperti yang dikemukakan Madzhab Hanafi.
Dari semua pendapat-pendapat ulama tersebut di atas pendapat yang terakhir ini yang paling shahih

2. WAKALAH
    Al-Wakalah menurut bahasa Arab dapat dipahami sebagai at-Tafwidh. Yang dimaksudkan adalah bentuk penyerahan, pendelagasian atau pemberian mandat dari seseorang kepada orang lain yang dipercayainya. Yang dimaksudkan dalam pembahasan ini wakalah yang merupakan salah salah satu jenis akad yakni pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
    Agama Islam mensyari’atkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Hal ini karena tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan urusannya sendiri, terkadang suatu kesempatan seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan/urusan pribadinya kepada orang lain untuk mewakili dirinya. Dalil syara’ yang membolehkan wakalah didapati dalam firman Allah pada surat Al-Kahfi :19, yang terjemahannya sbb: .
    ...Maka suruhlah salah seorang diantara kamu  pergi ke kota dengan membawa uang  perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makakan yang lebih baik Dan bawalah sebagian makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan jangan sekali-kali menceritakan halmu kepada siapapun”.
    Dalam ayat ini dilukiskan perginya salah seorang dari ash-habul kahfi yang bertindak untuk dan atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam memilih dan membeli makanan.
    Selain itu dalam ayat 55 urat Yusuf disebutkan yang terjemahannya : “Dia (Yusuf) berkata “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir) karena aku sesungguhnya orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan”.
    Dalam konteks ini nabi Yusuf siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga. Federal Rserve “ negeri Mesir.
    Disamping ayat al-Qur’an ada juga hadits Nabi Muhammad SAW riwayat Imam Malik terdapat dalam kitab Al-Muawaththa yang artinya :
    “Bahwasanya Rasulullah SAW mewakilkan kepada Abu Rafii dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Harits.

    Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan, seperti membayar utang, penetapan had dan membayarnya, pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lain.
    Oleh karena itulah para ulama sepakat bahwa dalil kebolehan wakalah juga didasarkan dengan ijma ulama dan bahkan ada ulama yang sampai mensunnahkannya dengan alasan karena hal tersebut termasuk jenis ta’awun atau bentuk tolong menolong atas dasar kebaikan.
    Aplikasi wakalah dalam konteks akad tabarru dalam perbankan Syari’ah berbentuk jasa pelayanan, dimana Bank Syari’ah memberikan jasa wakalah, sebagai wakil dari nasabah sebagai pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini Bank akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai contoh bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik atau telpon kepada perusahaan listrik atau perusahaan telpon.

    3. KAFALAH ( Guaranty)
      Pengertian kafalah menurut bahasa berati al-dhaman (jaminan), hamalah (beban) dan za’amah (tanggungan). Sedangkan menurut istilah adalah akad pemberian jaminan yang diberikan oleh satu pihak kepada pihak lain, dimana pemberi jaminan (kaafil) bertanggungjawab  atas pembayaran kembali suatu utang  yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
      Dalam pengertian lain, kafalah juga berti mengalihkan tanggungjawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
      Dasar disyari’atkan kafalah Firman Allah dalam surat Yusuf ayat 72: yang terjemahannya adalah :
      Kami kehilangan alat takar  dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan seberat beban unta, dan aku jamin itu “

      Dalam tersebut kata Za’im yang berarti penjamin, dalam kaitan cerita nabi Yusuf AS ini gharim atau orang yang bertanggung jawab atas pembayaran. 

      4. HAWALAH
        Dalam enseklopedi Perbankan Syari’ah Hawalah bisa disebut juga Hiwalah yang berarti intiqal (perpindahan), pengalihan, atau perubahan sesuatu atau memikul sesuatu di atas pundak.
        Menurut istilah Hawalah diartikan sebagai pemindahan utang dari tanggungan penerima utang (ashil) kepada tannggugan yang bertanggujawab (mushal alih) dengan
        cara adanya penguat. Atau dengan kata lain adalah pemindahan hak atau kewajiban yang dilakukan seseorang (pihak pertama) yang sudah tidak sanggup lagi untuk membayarnya kepada pihak kedua yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih atau untuk menuntut pembayaran utang dari/atau membayar utang kepada pihak ketiga.

        5. RAHN (Gadai)
          Pengertian Gadai (Rahn)
          Gadai (Rahn) secara etimologis (pendekatan kebahasaan/lughawi) sama pengertiannya dengan  yang berarti tetap, kekal, tahanan.
          Gadai (rahn) menurut pengertian terminologi (istilah) terdapat beberapa pendapat, diantaranya menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan.
          Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, Rahn (Gadai) adalah menahan salah satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis, dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. 

          6. QARD al-Qardul Hasan
          Qard bermakna pinjaman sedang al-hasan berarti baik. Maka Qardul Hasan merupakan suatu akad perjanjian qard yang berorientasi sosial untuk membantu meringankan beban seseorang yang membutuhkan pertolongan. Dalam perjanjiannya, suatu Bank Syari’ah sebagai kreditor memberikan pinjaman kepada pihak (nasabah) dengan ketentuan penerima pinjaman akan mengembalikan pinjaman tersebut pada waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian akad dengan jumlah pengembalian yang ketika pinjaman itu diberikan.
          Qardul Hasan atau benevolent adalah suatu akad perjanjian pinjaman lunak diberikn atas dasar kewajiban sosial semata, dengan dasar taa’wun (tolong menolong) kepada mereka yang tergolong lemah ekonominya, dimana si peminjam tidak diwajibkan untuk mengembalikan apapun kecuali modal pinjaman.
          9. WADI’AH (Trustee Depository)
          Pengertian dari segi bahasa adalah meninggalkan sesuatu atau berpisah. Dalam bahasa Indonesia diartuikan sebagai titipan.
          Menurut istilah Wadi’ah berarti penguasaan orang lain untuk menjaga hartanya, baik secara sharih (jelas) maupun secara dilalah (tersirat). Atau mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan  ungkapan jelas atau melalui isyarat, contoh; “saya titipkan tas ini kepada anda “ lalu orang itu menjawab “ Saya terima “ Maka sempurnalah akad Wadi’ah.
          Seperti jenis akad yang lain, Wadi’ah juga merupakan akad yang bersifat tolong menolong antara sesama manusia. Para ulama sepakat bahwa akad wadi’ah merupakan akad yang mengikat bagi kedua belah pihak. Wadi’ atau pihak yang menerima tuitipan harus bertanggungjawab atas barang yang dititipkan kepadanya, yang berarti menerima amanah untuk menjaganya.
          II. AKAD TIJARI
          Akad Tijari adalah akad yang berorientasi pada keuntungan komersial ( for propfit oriented) Dalam akad ini masing-masing pihak yang melakukan akad berhak untuk mencari keuntungan. Di dalam Bank Syari’ah biasanya yang termasuk kelompok akad ini diantaranya; Murabahah, Salam, Istisna, Musyarakah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah muntahiya bittamlik, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter. 

          1. MURABAHAH (Defered Payment Sale)
            Menurut definisi Ulama Fiqh Murabahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
            Dalam perbankan Islam, Murabahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murabahah juga merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli  barang tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
            Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh biaya dilunasi.
            2.MUDHARABAH
            Secara teknis Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.
            Landasan syari’ah antara lain al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 20, Surat al-Jumu’ah ayat 10 dan surat al-Baqarah ayat  198. Dari Al-Hadits riwayat Thabrani dan Ibnu majah serta Ijma para sahabat.
            Secara umum  Mudharabah terbagi kepada dua jenis, pertama mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
            Yang dimaksud mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara shahibul mal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
            Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu dan tempat usaha. Adanya pembatasan ini biasanya mencerminkan kecenderungan umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
            3.  IJARAH
            Pengertian secara etimologi ijarah disebut juga al-ajru (upah) atau al-iwadh (ganti). Ijarah disebut juga sewa, jasa atau imbalan. Sedangkan menurut Syara’ Ijarah adalah salah satu bentuk kegiatan Mu’amalah dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia, seperti sewa menyewa dan mengontrak atau menjual jasa, atau menurut Sayid Sabiq Ijarah ini adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian.
            Menurut Ulama Fiqh Imam Hanafi Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan.  Sedangkan menurut Ulama Syafi’i Ijarah adalah transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu. Sementara menurut Ulama Maliki dan Hambali Ijarah adalah pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.
            Berdasarkan definisi dari para Ulama Madzhab tersebut, terdapat kesamaan pandangan bahwa adanya unsur penting dalam pembiayaan Ijarah yakni adanya manfaat pada barang yang disewakan  baik yang bersifat jasa, dan adanya imbalan atas nilai yang disepakati dalam transaksi tersebut.
            4. IJARAH MUNTAHIYA BITTAMLIK
            Transaksi ini adalah sejenis perpaduan antara akad (kontrak) jual beli dengan
            akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan inilah yang membedakan denga ijarah biasa.
            Adapun bentuk akad ini bergantung pada apa yang disepakati kedua belah pihak yang berkontrak. Misalnya al-ijarah dan janji menjual; nilai sewa yang mereka tentukan dalam al-ijarah; harga barang dalam transaksi jual dan kapan kepemilikan itu dipindahkan.
            Aplikasinya dalam perbankan syari’ah dioprasionalisasikan dalam bentuk operasing lease maupun financial lease. Akan tetapi pada umumnya bank-bank tersebut lebih menggunakan ijarah muntahiya bittamlik ini karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu bank pun  tidak direpotkan mengurus pemeliharaan aset, baik saat leasing maupun sesudahnya.

            5. SALAM, BAI’ (Infron of Payment Sale).
              Salam secara etimologi berarti salaf (pendahuluan) yang bermakna akad atau penjualan/pembuatan sesuatu yang disepakati dengan kriteria tertentu dalam tempo (tanggungan), sedang pembayarannya disegerakan.
              Bai’i salam adalah suatu jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual beli barang, sedang pembayarannya dilakukan dimuka bukan berdasarkan fee melainkan berdasarkan keuntungan (margin). Dengan kata lain ba’i salam adalah suatu jasa free-paid purchase of goods.
              Menurut para Fuqaha menamai Ba’i Salam dengan Al-Mahawij (barang-barang mendesak). Praktik jual beli ini dilakukan dengan tanpa ada barangnya di tempat, sementara dua pihak melakukan jual beli, secara mendesak.
              Dasar hukum Ba’i salam ini sama dengan dasar hukum jual beli yang disyari’atkan dalam al-Qur’an, seperti Firman Allah dalam surat al-Baqarah 282 yang artinya :

              Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, maka hendaklah kamu menuliskannya” 

              6. ISTISHNA (Purchase by order or Manufacture)
                Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan  kriteria yang jelas.
                Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedang istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.

                7. MUSYARAKAH
                  Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
                  Musyarakah ada dua jenis; pertama musyarakah pemilikan dan kedua musyarakah akad (kontrak). Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan,wasiat atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.

                  8. SHARF(Valas/Money Changer)
                  Sarf menurut arti kata adalah penambahan, penukaran, penghindaran, pemalingan, atau transaksi jual beli. Sedangkan menurut istilah adalah suatu akad jual beli mata uang (valuta) dengan valuta lainnya, baik dengan sesama mata uang yang sejenis atau mata uang lainnya.
                  Menurut definisi ulama sarf adalah memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis, seperti jual beli dinar dengan dinar, dinar dengan dirham atau dirham dengan dirham. Transaksi Sarf pada dunia perekonomian dewasa ini banyak dijumpai pada bank-bank devisa valuta asing atau money changer, misalnya jual beli rupiah dengan dolar Amerika Serikat (US$) atau mata uang lainnya.
                  Dasar hukum diperbolehkan jual beli Sarf menurut interpretasi para ulama adalah sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Jamaah Ahli hadits dari Ubadah bin Samit kecuali Bukhari  menyatakan : Yang maksudnya “ .....jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gadum, kurma dengan kurma, anggur dengan anggur, (apabila) satu jenis (harus) kuialitas dan kuantitasnya dan dilakukan secara tunai. Apabila jenisnya berbeda, maka juallah sesuai dengan kehendakmu dengan syarat-syarat secara tunai.
                  8. MUZARA’AH (Harvest Yield Profit Sharing)
                  Al-Muzara’ah adalah akad kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen.
                  Muzara’ah sering diidentikkan dengan mukhabarah. Dimana antara keduanya ada sedikit perbedaan antara lain, apabila benih dari pemilik lahan maka dinamakan muzara’ah, tetapi bila benih dari si penggarap maka dinamakan mukhabarah.
                  Landasan hukum syari’ahnya antara lain Al-Hadits riwayat dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah di Khaibar kepada penduduknya (waktu itu mereka masih Yahudi) untuk digarap dengan imbalan pembagian hasil buah-buahan dan tanaman. Begitu juga Ijma sebagaimana  dikatakan Abu Ja’far “ Tidak ada satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya mengolah tanah secara muzara’ah dengan pembagian hasil 1/3 dan ¼. Hal ini telah dilakukan oleh Sayyidina Ali, Sa’ad bin Abi Waqash, Ibnu Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz, Qasim, Urwah keluarga Abu bakar dan keluarga Ali. 
                  9. MUKHABARAH
                  Sebagai disebutkan di atas bahwa Mukhabarah sering diidentikkan dengan muzara‘ah, oleh karena itu pembahasan akad ini mirip dengan pembahasan muzara’ah hanya saja dari segi benih yang digunakan adalah berasal dari si penggarap tanah.

                  10. BARTER
                  Yang dimaksud akad barter ini pemberian secara sukarela suatu barang atau jasa sebagai imbalan atas perolehan suatu barang atau jasa yang berlainan sifatnya, atas dasar persetujuan bersama. Misalnya, A dan B masing-masing mempunyai barang, A menyukai barang milik B, dan sebaliknya. Jadi secara nalar keinginan mereka untuk melakukan pertukaran mendapatkan persetujuan yang diperlukan. Karenanya, didalam pertukaran terjadi pergantian kepemilikan atas barang-barang dari satu ke lain individu.
                  Sebagai contoh, seseorang mempunyai 1 kilogram apel yang ditukarkan dengan mangga milik sahabatnya. Melalui proses ini, yang dimiliki sekarang ialah satu kilogram apel yang sebelumnya adalah kepunyaan orang lain. Bentuk kepemilikan atas apel itu merupakan (hiazat), atau aktifitas produktif atau jasa.
                  Kepemilikan melalui barter ini disebut sebagai kepemilikan tingkat kedua. sebab, kepemilikan atas 1 kilogram mangga sebelumnya mengharuskan adanya kepemilikan atas satu kilogram apel, apakah melalui perolehan aktifitas produktif atau jasa.
                  Di dalam barter, dua nilai dihadapkan satu dengan yang lain, dan perolehan atas satu nilai yang terwujud dalam satu barang mensyaratkan penanggalan satu nilai lainnya. Namun demikian, prasyarat yang menjamin transfer kepemilikan adalah perolehan terdahulu atas barang didapatkan melalui langkah-langkah umum hiazat, (aktifitas produktif atau jasa).
                  Demikian juga suatu jasa kemungkinan besar dapat ditukar dengan jenis jasa yang lain. Contoh seorang dokter dan seorang tukang cat dapat saja bersepakat, bahwa sebagai ganti biaya pengobatan yang diberikan dokter, tukang cat mencat bangunan milik dokter. Sehingga dokter akan menjadi pemilik kerja tukang cat untuk jangka waktu tertentu dan tunduk pada semua ketetapan yang disepakati bersama. Dalam kasus ini kepemilikan dokter atas kerja tukang cat merupakan unsur pembentuk kepemilikan tingkat dua, dan setiap pembatalan sepihak atas persetujuan itu akan menjurus kepada pelanggaran.


                  KESIMPULAN
                  Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat disimpulkan sbb:
                  1. Akad adalah perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq) yang disepakai oleh dua atau beberapa pihak dan diimplimentasiikan dalam Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) yang dibenarkan oleh syara’ dan menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
                  2. Jenis-jenis Akad yang yang berlaku di perbankkan syari’ah terdiri dari akad  Tabarru dan Tijari.Yang termasuk jenis Tabarru adalah Hibah, Ibra, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, Qirad, Wadi’ah, Hadiah. Sedangkan yang tergolong akad Tijari, Murabahah, Mudharabah, Ijarah, Ijarah Muntahiya Bittamlik, Salam, Istisna, Musyarakah, Sharf, Muzaraah, Mukhabarah dan Barter.
                  Repost dari: www.pa-tanahgrogot.net/
                  »»  READMORE...

                  Jumat, 30 Desember 2011

                  Keselamatan Akidah dan Kedok Toleransi

                  “Sampai-sampai ada seorang tokoh Partai Islam, harus perlu membuat spanduk besar-besar, di sebuah jalan di Jakarta, dan hanya sekadar mengucapkan: "Selamat Natal", kepada orang-orang Nasrani, yang akan merayakan Natal.” .
                  Allah memperingatkan dalam Surat Al Baqarah, ayat 120. Artinya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
                  Firman ini sangat jelas, lugas, tegas. Sekali lagi, Yahudi dan Nasrani tidak akan senang sehingga kamu mengikuti agama mereka. Untuk mencapai tujuan itu, mereka melakukannya dengan beragam cara. Namun, mereka sadar umat Muslim tidak bisa dikalahkan secara fisik. Karenanya, sejak lama mereka menggencarkan perang pemikiran (ghazwul fikri).
                  Salah satu tujuannya untuk ‘mencuci otak’ kaum Muslim. Minimal, agar umat Muhammad tak lagi melaksanakan ajaran Islam, menjauhkan dari ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Cara yang dilakukan begitu halus, lembut. Seolah memberi madu yang sejatinya malah merobek akidah dan membuat catat ke-Islaman kita.
                  Apa contohnya? Banyak sekali. Budaya-budaya non Muslim dibawa, dikemas sedemikian rupa sehingga meninabobokan generasi muda umat Islam. Mulai dari pakaian, makanan, adab makan, adab bergaul, gaya hidup, pengaburan sejarah dan sebagainya: Umat Islam seolah sudah dikepung beragam menu hidup non Muslim. Kita terjebak, terseret dalam ‘agenda’ mereka yang disebar melalui beragam sarana. Kasus paling mudah ditemui, termasuk hari yang diperingati di setiap penghujung tahun: Natal.
                  Tengok saja: Berapa banyak umat Muslim yang mengucapkan natal. Sampai-sampai ada yang membantu proses perayaan itu, dengan ragam cara. Padahal, jelas-jelas mengucapkan natal saja haram. Apalagi sampai berkontribusi di dalam perayaan itu. Literasi keagamaan dan pendapat ulama yang mengharamkan natal sangat mudah ditemui. Namun, fakta di lapangan membuat miris hati.
                  Mereka, kaum Nasrani, menggunakan kedok toleransi. Dengan pertanyaan-pertanyan yang paling populer: “Kenapa mengucapkan natal saja tidak boleh? Begitu kah Islam yang Rahmatan lil alamin? Dimana toleransinya?” Pertanyaan ini sering kali mereka gaungkan. Padahal Islam telah membuat batasan tegas yang menyangkut akidah. Surat Al-Kafirun menegaskannya: Lakum diinikum waliyaddin. Untukmu agamamu, untukku agamaku.
                  Bermualah sangat dianjurkan, tapi tanpa menggadaikan akidah. Dengan kedok toleransi, mereka ingin mencampur adukkan akidah dengan muamalah: Kalau mereka memberi ucapan Selamat Idul Fitri kepada umat Muslim, seharusnya tidak perlu minta timbal balik kepada umat Muslim untuk mengucapkan selamat natal. Sebab, Islam melarangnya. Hal ini bisa berakibat fatal, membuat catat ke-Islaman seseorang. Parahnya, pejabat negeri ini yang beragama Islam seolah justru mengedukasi masyarakat agar mengucapkan natal. Dueng!
                  Para pejabat itu sudah terjebak dengan ‘agenda’ Nasrani. Apalagi, sampai ikut menghadiri agenda natal. Ada pula yang membuat spanduk ucapan natal di jalan, seperti yang pernah dilansir di Editorial media ini. Miris.
                  Ibnu Taimiyyah berpesan, “Tidak ada perbedaan dalam urusan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah Hari Raya dengan bekerja sama bersama mereka dalam menjalankan ajaran agama. Karena penyerupaan Hari Raya sama halnya penyerupaan dalam masalah kekufuran."
                  Di lain pihak, ada fenomena lain yang membuat hati galau; pemerintah dan media massa seolah kerap membantu kaum Nasrani dalam kasus-kasus gereja bermasalah. Umat Muslim malah disudutkan. Padahal yang bermasalah perizinan gerejanya. Lagi-lagi pemerintah membelaya lantaran sebuah Tuhan yang bernama toleransi.
                  Sebaliknya, media massa dan pemerintah tak banyak angkat bicara manakala menanggapi banyaknya karyawan Muslim di banyak perusahaan sejumlah daerah yang diinstruksikan menggunakan atribut natal: Pakaian ala sinterklas atau model-model sejenis yang menggambarkan perayaan natal. Tak terkecuali karyawan yang menggunakan jilbab. Mereka seolah tetap diharuskan memakai atribut natal. Masygul sekali hati ini saat melihat busana karyawan Muslimah berjilbab dibumbui embel-embel topi ala sinterklas di atas kepalanya. Masya Allah!
                  Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Dengan demikian, bagaimana nasib saudara Muslim kita yang bekerja di tempat non Muslim dan diperintahkan atasan/perusahaannya untuk menggunakan atribut natal? Bagaimana pembelaan pemerintah? Bagaimana peran media untuk membantu permasalahan umat ini?
                  Fenomena karyawan Muslim menggunakan atribut natal, semakin tahun semakin mudah kita temui. Di mall, café, tempat layanan publik, dan sebagainya. Jika ditelisik lebih mendalam, fenomena ini seperti sesuatu yang dijalankan secara sistemik. Terencana, rapih, digencarkan secara massif, menyebar di berbagai tempat. Begitu jelita!
                  Di sebuah toko buku di Depok, seorang pelayan toko, menawarkan buku Imam Gazali, dan yang satunya lagi, menawarkan kitab Bukhari, sementara, pelayan itu menggunakan topi "merah" khas Sinterklas. Toko buku itu, secara langsung sudah mendidik agar umat Islam, juga memiliki sikap "tasamuh" (toleransi) terhadap golongan Nasrani. Jangan lagi bersikap fanatik, dan tidak mau bersikap "tasamuh". 
                  Kedok toleransi dijadikan alibi pihak Nasrani untuk mengacak-acak akidah umat. Hal ini juga didukung antek-antek kaum liberal. Mereka, kaum liberal yang KTP-nya Islam, malah mengajak Muslim lainnya untuk mengucapkan natal, memeriahkannya. Alasannya: Toleransi. Semakin hari, umat Muslim di Indonesia yang jumlahnya ratusan juta jiwa tak berkutik ‘dipermainkan’.
                  Agenda mereka untuk menjauhkan generasi ini dari ajaran Islam benar-benar berhasil. Ironinya, kita sendiri seolah pasrah, menganggap pengrusakan akidah ini hal biasa. Hanya segelintir Ormas Islam yang masih memberi perhatian terhadap hal ini. Dan, jarang (kalau boleh dikatakan tidak ada) perhatian terhadap masalah natal ini datang dari partai-partai Islam. Mereka diam atau bahkan mendukung pihak-pihak yang mengucapkan natal. Naudzu billah bila itu terjadi lantaran dahaga kekuasaan.
                  Beruntung, masih ada Ormas Islam yang peduli dan ingin memperkerakan perusahaan yang mewajibkan karyawan Muslimnya beratribut partai. Tapi, tentu saja, jika pemerintah diam maka suara Ormas itu kalah. Di sinilah peran pemerintah sangat vital melindungi akidah umat. Bahkan, MUI meminta negara harus melindungi karyawan Muslim agar tidak dipaksa berbusana natal.
                  Ketua MUI KH. Ahmad Cholil Ridwan mengimbau agar pemerintah menerbitkan undang-undang yang melarang umat Islam merayakan Natal bersama. Selain itu, umat Islam harus kompak untuk menolak natalan bersama.
                  Kita tunggu saja apa tanggapan pemerintah? Mungkin, kita pesimis. Sebab, banyak sekali ketidakadilan pemerintah dalam menyikapi suatu permasalahan umat. Sebut saja, kasus gereja bermasalah. Pemerintah langsung campur tangan. Sebaliknya terhadap kasus pembakaran masjid di Medan, kasus kekerasan Ambon terhadap umat Islam dan kasus sejenisnya sampai sekarang pemerintah diam. Tak ada pelaku kekerasan itu yang ditangkap. Sebaliknya bila Nasrani yang jadi korban, petugas sangat cepat bergerak. Berulang kali Islam menjadi korban ketidak adilan.
                  Ironinya, umat juga ‘dikepung’ dari berbagi sisi. Hal paling utama adalah kedok yang disebar sesuai versi dan keinginan mereka: Digunakan dalam konteks dan tujuan berbeda. Dan, kedok toleransi yang paling berbahaya adalah toleransi yang merusak akidah. Ini masalah klasik dan kompleks, yang menggelinding bak bola salju. Barangkali sekelumit langkah memproteksi ‘agenda’ pengrusakan akidah bisa ditempuh dengan:
                  1. Menguatkan akidah diri, keluarga, kawan dan lingkungan terdekat dengan pemahaman agama Islam yang memadai.
                  2. Membuat langkah strategis, sistemik, sinergis dan berkesinambungan antar media Islam dengan agenda prioritas untuk menyelamatkan akidah.
                  3. Pengusaha Muslim bersatu membuka lapangan kerja yang lebih banyak dan menampung saudara kita yang bekerja pada perusahaan non Muslim di perusahaan yang mewajibkan karyawannya mengikuti millah agama non Muslim.
                  4. Belajar mendidik diri, buah hati, kerabat dan lingkungan untuk menjadi pebisnis agar bisa mandiri dan membuka lapangan kerja baru tanpa bergantung pada perusahaan non Muslim.
                  5. Para ulama, ustadz, tokoh agama memberi perhatian lebih besar terhadap penguatan akidah umat. Bisa dilakukan melalui sekolah, masjid, forum-forum atau di mana pun dengan agenda yang berkesinambungan (bukan sekadar seremonial). Dan maaf, mohon hentikan menjadi ‘ustadz entertaint’. Teramat malu kita kepada perjuangan ulama-ulama terdahulu.
                  6. Badan-badan sosial Islam membantu menguatkan perekonomian umat agar umat ini tak bergantung kepada non Islam.
                  7. Partai-partai Islam menggencarkan program-program penguatan akidah yang sistemik bagi kader, simpatisan dan khalayak.
                  8. Partai dan Ormas Islam bersatu, menggencarkan langkah kongkrit membendung siaran ‘racun’ televisi yang minim nilai edukasi dan berpotensi merusak akhlak dan sisi keilmuan generasi umat.
                  9. Para mujahid media, terus menggencarkan buah pikirannya melalui media massa, media sosial atau sarana lain dalam konteks melindungi akidah umat.
                  10. Membumikan media-media komunitas yang bergenre dakwah. Lebih efektik media cetak gratis seperti Buletin dan dibagikan gratis ke rumah-rumah (Tak cukup hanya dengan Buletin Jumat).
                  11. 11. Sejumlah cara lain, yang diutamakan untuk kepentingan menjaga akidah generasi umat Muslim.
                  Menggelitik sekali rasanya, Nasrani yang saat ini minoritas sudah berani menginstruksikan karyawan Muslim menggunakan atribut natal. Padahal Islam sendiri tak pernah menyuruh karyawan Nasrani di Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha; untuk memakai jilbab atau baju koko, misalnya. Jika minoritas saja nekat seperti saat ini, bagaimana bila mereka yang mayoritas? Ah, tak terbayangkan! Mari bersama, kita bentengi akidah generasi ini.
                  Ya Allah, ampunilah kami karena telah lalai menjaga akidah. Ya Rahman, lindungilah akidah generasi umat Islam. Ya Rahim, lindungilah kami dari fitnah dajjal. Ya Rabb, jangan biarkan musuh-musuh Mu menghinakan izzah Islam. Ya Aziz, bantulah orang-orang yang meninggikan agama Mu, dengan bantuan yang cepat, dahsyat, tak terkira. Amin.

                  Repost dari situs Era muslim.com
                  »»  READMORE...

                  Kamis, 29 Desember 2011

                  Dakwah Dusta

                  Assalamu alaikum Wr Wb
                  Melihat fenomena baru dikalangan aktivis berlabel dakwah, yang dengan "terpaksa" tertular oleh gelombang arus. Sehingga mereka pun ikut melakukan aktivitas yang sama sekali tidak dibenarkan oleh Islam yakni Khalwat atau pacaran. Untuk itu saya membagi tulisan dari ust Salim A Fillah berikut ini:


                  Ada sebuah kisah cantik yang dikutip oleh Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan dalam Taujih Ruhiyah-nya. Kisah menarik ini, atau yang semakna dengannya juga termaktub dalam karya agung Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang khusus membahas para pencinta dan pemendam rindu, Raudhatul Muhibbin.

                  Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.

                  Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulangkali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.

                  Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.

                  Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu.

                  Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.

                  Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.

                  ”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”

                  Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”

                  ”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”

                  Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit. dan penyesalan yang tak berkesudahan.”

                  Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegub. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”

                  ”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”

                  Kita cukupkan sampai di sini sang kisah. Mari kita dengar komentar Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan tentangnya. ”Apa yang kita pelajari dari kisah ini?”, demikian beliau bertanya. ”Sebuah kisah yang indah. Sarat dengan ’ibrah dan pelajaran. Kita lihat bahwa sang pemuda demikian fasih membimbing si gadis untuk menghayati kesucian dan ketaqwaan kepada Allah.”

                  ”Tapi”, kata beliau memberi catatan. ”Dalam kisah indah ini kita tanpa sadar melupakan satu hal. Bahwa sang pemuda dan gadis melakukan pelanggaran syari’at. Bahwa sang pemuda mencampuradukkan kebenaran dan kebathilan. Bahwa ia meniupkan nafas da’wah dalam atmosfer yang ternoda. Dan dampaknya bisa kita lihat dalam kisah; sang gadis sama sekali tak mengindahkan da’wahnya. Bahkan ia makin berani dalam kata-kata; mengajukan permintaan-permintaan yang makin meninggi tingkat bahayanya dalam pandangan syari’at Allah.”

                  Ya. Dia sama sekali tak memperhatikan isi kalimat da’wah sang pemuda. Buktinya, kalimatnya makin berani dan menimbulkan syahwat dalam hati. Mula-mula hanya mengagumi wajah. Lalu membayangkan tangan bergandengan, jemarinya menyatu bertautan. Kemudian membayangkan berbaring dalam pelukan. Subhanallah, bagaimana jika percakapan diteruskan tanpa batas waktu?

                  ”Kesalahan itu”, kata Syaikh ’Abdullah Nashih ’Ulwan memungkasi, ”Telah terjadi sejak awal.” Apa itu? ”Mereka berkhalwat! Mereka tak mengindahkan peringatan syari’at dan pesan Sang Nabi tentang hal yang satu ini.”

                  Ya. Mereka berkhalwat! Bersepi berduaan. Ya. Sang pemuda memang sedang berda’wah. Tapi meminjam istilah salah seorang Akh yang paling saya cintai dalam ’surat cinta’-nya yang masih saya simpan hingga kini, ini adalah ”Da’wah dusta!” Da’wah dusta. Da’wah dusta. Di jalan cinta para pejuang, mari kita hati-hati terhadap jebakan syaithan. Karena yang tampak indah selalu harus diperiksa dengan ukuran kebenaran.

                  taken from: Jalan Cinta Para Pejuang/Cinta Bersujud Di Mihrab Taat/Selingan Cinta dari Khazanah Lama
                  by Salim A. Fillah
                  »»  READMORE...