Senin, 03 Maret 2014

Syaikh Abu Zahrah bicara Illat dan Hikmah

Oleh
Muhammad Singgih 

Dalam suatu seminar sarasehan Jilbab Syari di suatu kampus (bukan kampus Saya lho meskipun kampus saya..... ah sudahlah), untuk merumuskan ketentuan busana muslimah mahasiswinya, terjadilah perbincangan hangat yang timbulkan hasrat untuk posting tulisan ini. Sekaligus tunaikan janji pada teman-teman FB dan Twitter. Singkat kisah, diskusi berjalan menarik. Narasumber menceritakan perjuangannya saat kuliah di Amerika dalam berbusana muslimah. Ekspresi pejuang jilbab pada dirinya terasa saat ia menampilkan puisi The Way not Taken nya Robert Frost dalam slide pertamanya.
Tugas Liberal adalah bertanya
Salah seorang audiens dengan pertanyaan serius berbekal (kalo ngga salah) kitab Lubaabun Nuqul fii Asbaabin Nuzuul (Imam As Suyuthi) melontarkan pertanyaan canggih: “Kalau kita baca latar belakang turunnya Surat Al Ahzab 59, maka kita akan menemukan konteksnya.
Hai Nabi,katakanlah pada istri- istrimu,anak-anak perempuanmu dan istri-istri
orang mukmin:”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka.”Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,karena itu mereka tidak di ganggu.Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.33 al-Azhab:59)r
“Pada waktu itu, ada seorang muslimah yang diganggu oleh beberapa pemuda. Maka dia mengadu pada Rasulullah SAW, hingga beliau memanggil mereka. Ketika ditanya mengapa mengganggu, mereka menjawab bahwa muslimah itu tidak menunjukan ciri muslimah, tak dikenali entah merdeka atau budak. Maka turunlah ayat ini yang konteksnya adalah identitas dan perlindungan. Jadi intinya bukan jilbabnya, tapi agar ia tidak diganggu. Nah, di masa sekarang ketika para muslimah tak diganggu, masih relevankah jilbab?”.
Dan saya paham mengapa sang ibu narasumber menjadi emosional menjawabnya. “kita ini sudah selangkah maju!. Jangan dimundurkan lagi dengan konteks atau pemahaman yang neko-neko. Hargailah mereka yang punya semangat untuk menjalankan perintah Allah”. Sepertinya ibu narasumber lupa, bahwa kerjaan kaum liberal memang bertanya dan berwacana.
Pernyataan lebih kontroversi kerap dilontarkan oleh tokoh-tokoh liberal di Indonesia. Bahkan ada yang menyamakan baju renang dengan jilbab karena alasan situasional. “Baju renang untuk situasi berenang jilbab untuk situasi ngaji”. “Jilbab budaya arab jadi tak usah diikuti di Indonesia”. Astagfirullah...  (sekali-kali stalking dah akun twitternya Ulil atau zuhairi misrawi).
Memijakan Pemahaman
Menurut Prof Muhammad Hosen, paradigma fiqh liberal dalam memandang sebuah nash (Al Quran dan Hadist) bukan dalam harfiah teksnya (tekstual), tapi menggali untuk menemukan ruh atau semangatnya (Kontekstual). Dalam paradigma ilmiah sederhana hal ini selesai terbantai. Karena Objektivitas teks berubah menjadi subjektivitas penafsir teks. Jadi sudah tidak ilmiah dari sejak awal.
Dalam kasus penanya ini,
Bahwa para Ulama kita membedakan antara Illat dengan hikmah. Illat wajibnya jilbab adalah ayat Al Ahzab 59 tadi. Sedangkan hikmahnya, adalah agar lebih mudah dikenali sehingga tidak diganggu. Hilangnya hikmah tidak meniadakan hukum. Karena hukum berkaitan dengan Illat bukan dengan hikmah.
Dan sadarkah kita hikmah berjilbab pun belum hilang hingga sekarang, jilbab memberikan rasa aman pada wanita muslimah. Karena telah menyempurnakan perintah Allah dan Allah pun melindungi mereka dari segala gangguan.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah pun angkat Bicara
Untuk lebih memahami apa perbedaan illat dan hikmah, marilah kita sejenak membersamai Syaikh Abu Zahrah dalam kita ushul al fiqh nya. “Hikmah ialah manfaat yang tampak ketika Allah memerintahkan sesuatu, atau terhindar dari kerusakan ketika Allah melarangnya”. Sedangkan illat adalah sifat zhahir yang tepat berkenaan dengan hukum itu sendiri. Nash-nash hukum pasti memiliki illat. Nah, sumber hukum dalam Al quran dan Hadits adalah hukum illat itu sendiri sampai ada dalil lain yang menentukan lain.
Jadi bisa kita pahami, haramnya daging babi adalah karena Allah menyatakan demikian (illat).
Sementara hikmahnya mungkin karena babi adalah medium penyebaran berbagai penyakit dan terkandung berbagai bakteri, cacing pita, dan parasit. Jadi meskipun ditemukan cara mengolah daging babi agar semua penyakit dan bakteri hilang, hukum babi dan makan daging babi tidak akan berubah meski hikmahnya telah tiada. Kaidahnya adalah hilangnya hikmah tidak dapat meniadakan hukum. Mengapa? Karena sampai hari kiamat pun, takkan ada perubahan sedikit pun dalam ayat Allah yang telah mengharamkannya.
Hal yang sama Berlaku
Juga tentang zina, mengapa zina dilarang? Jawabnya adalah karena adanya ayat ini (illat): 
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS.Al Israa. ayat 32)
Sementara hikmahnya adalah agar terhindar dari berbagai macam kerusakan, sosial, pranata keluarga, serta berbagai macam Penyakit Menular Seksual semacam Sepilis, gonorrhoe dan AIDS. Dan ini hanyala hikmah, rujukan utamanya tetaplah illat.  masih ingat kan kaidah ‘hilangnya hikmah tidak akan meniadakan hukum’ sebab ayat di Al Quran tetaplah sama hingga akhir zaman.
Jadi meskipun ditemukan berbagai macam alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit PMS tadi dan menyebabkan hilangnya hikmah. Hukum zina tetap sama yakni haram, karena illat pada nash Al Quran tetaplah sama hingga Akhir zaman.
Wallahu alam bishawab.
Tulisan terinspirasi dari Buku Jalan Cinta Para Pejuang sub bab ABC, Karya Ust Salim A Fillah. Semoga tulisan ini jadi amal jariyah baginya dan saya sendiri semoga keciptratan pahala dari Allah SWT. Amin.
»»  READMORE...