Jumat, 30 Desember 2011

Keselamatan Akidah dan Kedok Toleransi

“Sampai-sampai ada seorang tokoh Partai Islam, harus perlu membuat spanduk besar-besar, di sebuah jalan di Jakarta, dan hanya sekadar mengucapkan: "Selamat Natal", kepada orang-orang Nasrani, yang akan merayakan Natal.” .
Allah memperingatkan dalam Surat Al Baqarah, ayat 120. Artinya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.
Firman ini sangat jelas, lugas, tegas. Sekali lagi, Yahudi dan Nasrani tidak akan senang sehingga kamu mengikuti agama mereka. Untuk mencapai tujuan itu, mereka melakukannya dengan beragam cara. Namun, mereka sadar umat Muslim tidak bisa dikalahkan secara fisik. Karenanya, sejak lama mereka menggencarkan perang pemikiran (ghazwul fikri).
Salah satu tujuannya untuk ‘mencuci otak’ kaum Muslim. Minimal, agar umat Muhammad tak lagi melaksanakan ajaran Islam, menjauhkan dari ajaran yang dibawa Rasulullah SAW. Cara yang dilakukan begitu halus, lembut. Seolah memberi madu yang sejatinya malah merobek akidah dan membuat catat ke-Islaman kita.
Apa contohnya? Banyak sekali. Budaya-budaya non Muslim dibawa, dikemas sedemikian rupa sehingga meninabobokan generasi muda umat Islam. Mulai dari pakaian, makanan, adab makan, adab bergaul, gaya hidup, pengaburan sejarah dan sebagainya: Umat Islam seolah sudah dikepung beragam menu hidup non Muslim. Kita terjebak, terseret dalam ‘agenda’ mereka yang disebar melalui beragam sarana. Kasus paling mudah ditemui, termasuk hari yang diperingati di setiap penghujung tahun: Natal.
Tengok saja: Berapa banyak umat Muslim yang mengucapkan natal. Sampai-sampai ada yang membantu proses perayaan itu, dengan ragam cara. Padahal, jelas-jelas mengucapkan natal saja haram. Apalagi sampai berkontribusi di dalam perayaan itu. Literasi keagamaan dan pendapat ulama yang mengharamkan natal sangat mudah ditemui. Namun, fakta di lapangan membuat miris hati.
Mereka, kaum Nasrani, menggunakan kedok toleransi. Dengan pertanyaan-pertanyan yang paling populer: “Kenapa mengucapkan natal saja tidak boleh? Begitu kah Islam yang Rahmatan lil alamin? Dimana toleransinya?” Pertanyaan ini sering kali mereka gaungkan. Padahal Islam telah membuat batasan tegas yang menyangkut akidah. Surat Al-Kafirun menegaskannya: Lakum diinikum waliyaddin. Untukmu agamamu, untukku agamaku.
Bermualah sangat dianjurkan, tapi tanpa menggadaikan akidah. Dengan kedok toleransi, mereka ingin mencampur adukkan akidah dengan muamalah: Kalau mereka memberi ucapan Selamat Idul Fitri kepada umat Muslim, seharusnya tidak perlu minta timbal balik kepada umat Muslim untuk mengucapkan selamat natal. Sebab, Islam melarangnya. Hal ini bisa berakibat fatal, membuat catat ke-Islaman seseorang. Parahnya, pejabat negeri ini yang beragama Islam seolah justru mengedukasi masyarakat agar mengucapkan natal. Dueng!
Para pejabat itu sudah terjebak dengan ‘agenda’ Nasrani. Apalagi, sampai ikut menghadiri agenda natal. Ada pula yang membuat spanduk ucapan natal di jalan, seperti yang pernah dilansir di Editorial media ini. Miris.
Ibnu Taimiyyah berpesan, “Tidak ada perbedaan dalam urusan bekerja sama dengan orang-orang kafir dalam masalah Hari Raya dengan bekerja sama bersama mereka dalam menjalankan ajaran agama. Karena penyerupaan Hari Raya sama halnya penyerupaan dalam masalah kekufuran."
Di lain pihak, ada fenomena lain yang membuat hati galau; pemerintah dan media massa seolah kerap membantu kaum Nasrani dalam kasus-kasus gereja bermasalah. Umat Muslim malah disudutkan. Padahal yang bermasalah perizinan gerejanya. Lagi-lagi pemerintah membelaya lantaran sebuah Tuhan yang bernama toleransi.
Sebaliknya, media massa dan pemerintah tak banyak angkat bicara manakala menanggapi banyaknya karyawan Muslim di banyak perusahaan sejumlah daerah yang diinstruksikan menggunakan atribut natal: Pakaian ala sinterklas atau model-model sejenis yang menggambarkan perayaan natal. Tak terkecuali karyawan yang menggunakan jilbab. Mereka seolah tetap diharuskan memakai atribut natal. Masygul sekali hati ini saat melihat busana karyawan Muslimah berjilbab dibumbui embel-embel topi ala sinterklas di atas kepalanya. Masya Allah!
Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” Dengan demikian, bagaimana nasib saudara Muslim kita yang bekerja di tempat non Muslim dan diperintahkan atasan/perusahaannya untuk menggunakan atribut natal? Bagaimana pembelaan pemerintah? Bagaimana peran media untuk membantu permasalahan umat ini?
Fenomena karyawan Muslim menggunakan atribut natal, semakin tahun semakin mudah kita temui. Di mall, café, tempat layanan publik, dan sebagainya. Jika ditelisik lebih mendalam, fenomena ini seperti sesuatu yang dijalankan secara sistemik. Terencana, rapih, digencarkan secara massif, menyebar di berbagai tempat. Begitu jelita!
Di sebuah toko buku di Depok, seorang pelayan toko, menawarkan buku Imam Gazali, dan yang satunya lagi, menawarkan kitab Bukhari, sementara, pelayan itu menggunakan topi "merah" khas Sinterklas. Toko buku itu, secara langsung sudah mendidik agar umat Islam, juga memiliki sikap "tasamuh" (toleransi) terhadap golongan Nasrani. Jangan lagi bersikap fanatik, dan tidak mau bersikap "tasamuh". 
Kedok toleransi dijadikan alibi pihak Nasrani untuk mengacak-acak akidah umat. Hal ini juga didukung antek-antek kaum liberal. Mereka, kaum liberal yang KTP-nya Islam, malah mengajak Muslim lainnya untuk mengucapkan natal, memeriahkannya. Alasannya: Toleransi. Semakin hari, umat Muslim di Indonesia yang jumlahnya ratusan juta jiwa tak berkutik ‘dipermainkan’.
Agenda mereka untuk menjauhkan generasi ini dari ajaran Islam benar-benar berhasil. Ironinya, kita sendiri seolah pasrah, menganggap pengrusakan akidah ini hal biasa. Hanya segelintir Ormas Islam yang masih memberi perhatian terhadap hal ini. Dan, jarang (kalau boleh dikatakan tidak ada) perhatian terhadap masalah natal ini datang dari partai-partai Islam. Mereka diam atau bahkan mendukung pihak-pihak yang mengucapkan natal. Naudzu billah bila itu terjadi lantaran dahaga kekuasaan.
Beruntung, masih ada Ormas Islam yang peduli dan ingin memperkerakan perusahaan yang mewajibkan karyawan Muslimnya beratribut partai. Tapi, tentu saja, jika pemerintah diam maka suara Ormas itu kalah. Di sinilah peran pemerintah sangat vital melindungi akidah umat. Bahkan, MUI meminta negara harus melindungi karyawan Muslim agar tidak dipaksa berbusana natal.
Ketua MUI KH. Ahmad Cholil Ridwan mengimbau agar pemerintah menerbitkan undang-undang yang melarang umat Islam merayakan Natal bersama. Selain itu, umat Islam harus kompak untuk menolak natalan bersama.
Kita tunggu saja apa tanggapan pemerintah? Mungkin, kita pesimis. Sebab, banyak sekali ketidakadilan pemerintah dalam menyikapi suatu permasalahan umat. Sebut saja, kasus gereja bermasalah. Pemerintah langsung campur tangan. Sebaliknya terhadap kasus pembakaran masjid di Medan, kasus kekerasan Ambon terhadap umat Islam dan kasus sejenisnya sampai sekarang pemerintah diam. Tak ada pelaku kekerasan itu yang ditangkap. Sebaliknya bila Nasrani yang jadi korban, petugas sangat cepat bergerak. Berulang kali Islam menjadi korban ketidak adilan.
Ironinya, umat juga ‘dikepung’ dari berbagi sisi. Hal paling utama adalah kedok yang disebar sesuai versi dan keinginan mereka: Digunakan dalam konteks dan tujuan berbeda. Dan, kedok toleransi yang paling berbahaya adalah toleransi yang merusak akidah. Ini masalah klasik dan kompleks, yang menggelinding bak bola salju. Barangkali sekelumit langkah memproteksi ‘agenda’ pengrusakan akidah bisa ditempuh dengan:
  1. Menguatkan akidah diri, keluarga, kawan dan lingkungan terdekat dengan pemahaman agama Islam yang memadai.
  2. Membuat langkah strategis, sistemik, sinergis dan berkesinambungan antar media Islam dengan agenda prioritas untuk menyelamatkan akidah.
  3. Pengusaha Muslim bersatu membuka lapangan kerja yang lebih banyak dan menampung saudara kita yang bekerja pada perusahaan non Muslim di perusahaan yang mewajibkan karyawannya mengikuti millah agama non Muslim.
  4. Belajar mendidik diri, buah hati, kerabat dan lingkungan untuk menjadi pebisnis agar bisa mandiri dan membuka lapangan kerja baru tanpa bergantung pada perusahaan non Muslim.
  5. Para ulama, ustadz, tokoh agama memberi perhatian lebih besar terhadap penguatan akidah umat. Bisa dilakukan melalui sekolah, masjid, forum-forum atau di mana pun dengan agenda yang berkesinambungan (bukan sekadar seremonial). Dan maaf, mohon hentikan menjadi ‘ustadz entertaint’. Teramat malu kita kepada perjuangan ulama-ulama terdahulu.
  6. Badan-badan sosial Islam membantu menguatkan perekonomian umat agar umat ini tak bergantung kepada non Islam.
  7. Partai-partai Islam menggencarkan program-program penguatan akidah yang sistemik bagi kader, simpatisan dan khalayak.
  8. Partai dan Ormas Islam bersatu, menggencarkan langkah kongkrit membendung siaran ‘racun’ televisi yang minim nilai edukasi dan berpotensi merusak akhlak dan sisi keilmuan generasi umat.
  9. Para mujahid media, terus menggencarkan buah pikirannya melalui media massa, media sosial atau sarana lain dalam konteks melindungi akidah umat.
  10. Membumikan media-media komunitas yang bergenre dakwah. Lebih efektik media cetak gratis seperti Buletin dan dibagikan gratis ke rumah-rumah (Tak cukup hanya dengan Buletin Jumat).
  11. 11. Sejumlah cara lain, yang diutamakan untuk kepentingan menjaga akidah generasi umat Muslim.
Menggelitik sekali rasanya, Nasrani yang saat ini minoritas sudah berani menginstruksikan karyawan Muslim menggunakan atribut natal. Padahal Islam sendiri tak pernah menyuruh karyawan Nasrani di Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha; untuk memakai jilbab atau baju koko, misalnya. Jika minoritas saja nekat seperti saat ini, bagaimana bila mereka yang mayoritas? Ah, tak terbayangkan! Mari bersama, kita bentengi akidah generasi ini.
Ya Allah, ampunilah kami karena telah lalai menjaga akidah. Ya Rahman, lindungilah akidah generasi umat Islam. Ya Rahim, lindungilah kami dari fitnah dajjal. Ya Rabb, jangan biarkan musuh-musuh Mu menghinakan izzah Islam. Ya Aziz, bantulah orang-orang yang meninggikan agama Mu, dengan bantuan yang cepat, dahsyat, tak terkira. Amin.

Repost dari situs Era muslim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar