Jumat, 06 Januari 2012

Knowledge, Piety, Integrity: Sebuah Tinjauan Nurani


Slogan di atas akhir-akhir ini telah kehilangan maknanya. Gedung biru itu sudah tegak berdiri. Seolah menunjukkan bahwa slogan tersebut adalah dikotomi konkrit bahwa agama Islam hanya dibatasi pada ruang ritual dan ruang ilmu tanpa pernah menyapa ruang amal khususnya ekonomi. Tapi ada hal lain yang terus menggelitik hati sebelum gedung itu berdiri. Sebuah percakapan pembuka antara sahabat saya dengan Pak Rektor via sms. Kurang lebih begini isinya:
A: Pak, mengapa tidak memilih bank syariah sebagai penyedia layanan keuangan mahasiswa tetapi malah memilih Bank Mandiri?
K: Pertama, bank syariah belum murni syariah. Kedua, pelayanannya belum baik. Ketiga, hal ini sudah merupakan keputusan Dewan Pakar Universitas dan mengikuti ketentuan Depag.

Sekilas apa yang dikatakan beliau ada benarnya, dan bahkan itulah kenyataan yang sedang terjadi saat ini. Industri perbankan syariah Indonesia saat ini tengah menginjak masa remaja yang tentu saja masih labil dan belum menunjukkan performance terbaiknya. Merujuk balasan SMS beliau di atas mari kita telaah satu persatu dengan nurani intelektual yang jernih.
Pertama, bank syariah belum murni syariah dan pelayanannya belum baik. Jika dipandang dari sisi industri keuangan hal tersebut bisa dibenarkan. Tapi mari kita gunakan sudut pandang yang berbeda yaitu dari sisi institusi pendidikan khususnya PTN Islam (UIN, IAIN, STAIN). Jika diurai lebih dalam maka salah satu permasalahan mendasar dari problem ini adalah kurangnya SDM syariah yang mumpuni baik dari segi teori dan praktek.
Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini PT yang mempunyai jurusan perbankan syariah baru didominasi oleh PTN Islam dan sebagian oleh STEI diikuti beberapa PTN/PTS lainnya. Dari sejumlah PTN Islam tersebut SDM syariah yang dihasilkan belum mampu sepenuhnya masuk ke industri keuangan syariah dikarenakan kendala-kendala yang begitu kompleks. Salah satu penyebabnya adalah kurang bersahabatnya lingkungan akademis dengan industri keuangan syariah dikarenakan ranah akademis terlalu egois dengan keangkuhan teori yang dimilikinya sedangkan industri ini melaju terlalu cepat yang terkadang membuatnya lupa terhadap rambu-rambu syariah.
Lalu pertanyaannya sekarang apakah hanya industri keuangan syariah yang bisa kita persalahkan? Apakah PTN Islam (UIN) tidak memiliki andil atas mandeknya industri ini? Apakah dengan didirikannya dua bank konvesional di kampus Islam ini telah menunjukkan keberpihakan kepada bank syariah? Jangan hanya menyalahkan industri. Mari kita berkaca diri karena ketika kita menunjuk keburukan kepada orang lain maka empat jari yang lain akan berbalik tertuju ke arah kita. Kita sebagai akademisi Islam seharusnya mengawal industri ini untuk patuh pada rambu-rambu syariah dan akhlak. Mari berbenah diri…
Kedua, hal ini sudah merupakan keputusan dewan pakar universitas dan mengikuti ketentuan Depag. Tentu saja kalimat ini akan terucap dari seorang birokrat yang sangat patuh pada aturan. Namun di sini yang membuat saya prihatin adalah apakah aturan yang ada saat ini hanya diwarnai oleh kepentingan bisnis semata? Dimana konsep falah-oriented yang selalu diajarkan di kelas-kelas muamalah? Apakah hanya cukup menjadi penghias perpustakaan? Apakah pendirian jurusan perbankan syariah hanya sebatas pemuas jumlah kuota kelas setiap tahunnya? Masih banyak pertanyaan yang terus menggelitik nurani intelektual saya.
Bapak Ibu yang saya hormati, dengan prihatin saya sangat kecewa atas pendirian Bank Mandiri di kampus Islam yang saya cintai ini. Saya disini bukan hanya belajar ilmu perbankan syariah tetapi juga belajar untuk mengamalkannya. Knowledge, Piety, Integrity hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna jika saya tidak diizinkan mengamalkan ilmu ini di kampus saya sendiri. Slogan tersebut tidak cukup ditinjau oleh akal tapi juga harus dengan hati nurani yang jernih disertai amal nyata. Wallahualam bissawab.

Oleh: Riza Rizky Pratama
Repost dari situs LISENSI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar